Angka kejadian patah tulang di Indonesia
meningkat dari waktu ke waktu. Patah tulang dapat terjadi akibat
kecelakaan lalu lintas, kecelakaan rumah tangga, kecelakaan kerja,
kecelakaan olahraga, proses penuaan (degeneratif), dan suatu penyakit.
Namun penanganan kasus ini tidak harus dengan memasang pen.
Patah
tulang yang terjadi pada tulang panjang (lengan dan tungkai), pada
umumnya sangat mudah dikenali. Terdapat 3 'tanda pasti' patah tulang
yakni perubahan bentuk (deformitas), yaitu pemendekan, angulasi, dan
rotasi; terabanya gesekan antar tulang (krepitasi); adanya gerakan
tulang di tempat yang tidak semestinya dan di luar sendi (false
movement)
Meskipun patah tulang yang terjadi pada tulang panjang
dapat dikenali dengan mudah, pemeriksaan penunjang awal berupa Rontgen
(X-Ray) tetap diperlukan. Hal ini dimaksudkan untuk melihat komposisi
patahan tulang sebagai dasar perencanaan tindakan selanjutnya.
Pemeriksaan
rontgen juga sangat diperlukan untuk menegakkan diagnosis patah tulang
non-tulang panjang, yaitu tulang kepala dan wajah, tulang belakang,
tulang dada, tulang panggul dan tulang pendek (telapak tangan dan
jari-jemari)
Pemeriksaan penunjang lain yang sering dilakukan
pada kasus patah tulang adalah Computed Tomography (CT) Scan dan
Magnetic Resonance Imaging (MRI). CT Scan diperlukan untuk memperjelas
komposisi patah tulang yang melalui sendi (intra-artikuler). Sedangkan
MRI, diperlukan untuk melihat efek patah tulang terhadap jaringan lunak
(soft tissue) di sekitarnya, yaitu: syaraf, pembuluh darah, ligament,
meniscus, otot, tendon, dan organ-organ dalam tubuh.
Tujuan
penanganan patah tulang adalah bukan hanya sekadar menyambung kembali
tulang yang patah. Lebih dari itu adalah mengembalikan posisi tulang
secara anatomis sehingga tidak menimbulkan komplikasi lanjut dan dapat
berfungsi kembali dengan baik.
Setelah tulang dikembalikan ke
posisi anatomisnya (reposisi), maka diperlukan alat untuk membantu
mempertahankan posisi ini (immobilisasi) selama masa penyembuhan tulang.
Pada prinsipnya, alat tersebut harus menjamin bahwa patah tulang yang
telah direposisi, terfiksasi dengan stabil dan adekuat. Alat tersebut
dapat berupa: pen luar (eksternal fiksasi), pen dalam (internal
fiksasi), sekrup, pin, gips, dan brace.
Pertimbangan dokter
spesialis orthopaedi dalam menentukan jenis tindakan yang dilakukan pada
penanganan patah tulang, adalah usia, pekerjaan/profesi, aktivitas,
keadaan umum pasien, jenis patah tulang (terbuka/tertututup), tipe patah
tulang (sederhana/ kompleks), lokasi patah tulang (intra-artikuler/
ekstra-artikuler), derajat kerusakan jaringan sekitar, serta lama
kejadian dengan penanganan patah tulang.